Malam merayap meninggalkan bekas paling pekat diatas sana, cahaya yang datang hanyalah remang-remang dalam kesunyian, kamu sendirian, kembali bertemankan sepi. Menatap pada dinding yang dulunya menjadi teman mu, tapi kini semuanya terasa seperti musuh, tempat ini bukan lagi jadi yang paling aman, melainkan kurungan penjara tanpa sangsi. “Aku gak mau disini, papa... aku mau pulang,” merintik ketika hati rasa tersayat ribuan belati, wanita yang seharusnya bisa kau panggil ibu itu, malah mengurung mu kembali kekamar mu yang dulu. Tempat ini benar-benar tak terawat, lebih terlihat seperti gudang tua penuh debu, entah apakah ibu mu tidak lagi punya uang untuk membayar orang membersihkan tempat ini atau mungkin dia memang tidak berniat menyambut mu kembali. Kamu tak dapat membayangkan, menghabiskan waktu didalam sini — sampai hari persidangan tiba. “Papa...” Kata yang selalu kamu ucapkan berulang, tak luput dari pendengaran ataupun waktu, kamu hanya ingin kembali seperti dulu, dimana cinta seorang papa memenuhi hati mu. *** Hari-hari beranjak sepi, kamu tetap harus menyelesaikan kuliah mu, walau harus kembali pulang kerumah itu. Beberapa hari ini kamu benar-benar tidak melihat kehadiran Heeseung, pria itu pergi bagai ditelan bumi. Kamu tau sepanjang jalan kota dan tempat umum, bisa saja menangkap basah Heeseung jika dia berusaha berada didekat mu. Bukan hanya mentari yang kini murung kamu buat, namun Sunghoon sepertinya mulai menyadari sikap diam mu. “Lo kenapa, lagi ada masalah ya?” ayat tanya datang, saat kamu hendak menunggu taksi yang kamu pesan. “Sedikit,” jawab mu singkat, bukan melupakan Sunghoon sebagai seorang sahabat, hanya saja kamu tak mau merepotkannya. Tatapan datang untuk menilik raut wajah mu, “kayaknya engga deh, ini pasti masalah yang besar. Lo putus sama bokap lo? atau dia sekarang nyakitin lo?” hanya praduga itu yang muncul dalam benak Sunghoon. “Engga Hoon, justru kayaknya aku yang udah nyakitin papa, bikin kariernya hancur, dia jadi dijauhi sama keluarganya, terus sekarang papa harus berurusan sama hukum,” Mendengar pernyataan mu, Sunghoon hanya bisa terkejut, “hah?, serius lu?!...” hanya anggukan sirah dari diri mu, “... pantes aja, belakangan ini tiba-tiba ada kepala baru yang gantiin pak Lee,” “Iya Hoon, sekarang gua gak tau harus gimana, cuma nunggu lusa persidangan,” “Duh, ini masalahnya kompleks, lagian siapa sih yang berani laporin bokap lo,” “Setauku, kakaknya papa... Lee Yeonjun,” Ketika kamu menyebutkan nama itu, Sunghoon jadi teringat dengan pria yang melempar name desk milik Heeseung kedalam tong sampah. Sewaktu ia sedang bekerja. “Apa mungkin itu orang yang sama?...” “Siapa?” “Pria berambut merah, gua pikir dia cuma khayalan lo buat ngeprank bokap lo, ternyata beneran ada orangnya didunia nyata,” Kamu jadi kembali teringat, saat kamu meminta Sunghoon mengirimkan pesan singkat abstrak hanya untuk memberi kejutan pada Heeseung. “Ya sialnya gitu...” ckit! Sebuah mobil taksi kini berhenti tepat di depan mu, sang supir menurunkan kaca kemudi, “yang pesen taksi online ya mbak?” pertanyaan itu datang dari pak supir. “Iya pak, gua balik ya Hoon,” “Ah iya, hati-hati dijalan,” Mobil pun berlalu, kembali membelah jalan raya yang kini terasa begitu terik, hingga sebuah motor dari arah lain datang mencegat Sunghoon. Dia berhenti untuk memperhatikan sejenak siapa pengendara motor moge hitam dengan setelan leather jacket yang sama pekatnya itu, hingga penutup kepala dibuka, Sunghoon langsung bisa mengenalinya. “Pak Lee,” ucapnya spontan, ketika mendapatkan gambaran jelas dari wajah pria itu. “... i-itu tadi —” “Ya, saya melihatnya. Mungkin akan terasa salah ketika saya melibatkan kamu, tapi apa boleh saya meminta bantuan?” Persetan soal bagaimana hubungan keduanya begitu canggung, namun kali ini demi diri mu, Heeseung mengutarakan keinginannya untuk meminta bantuan pada Sunghoon. Sebagai lelaki yang kondisi ekonominya sudah begitu banyak dibantu oleh Heeseung, tentu saja Sunghoon tak akan melupakan kebaikan sang pria. “Boleh pak, boleh. Kebetulan tadi dia sempat cerita sama saya soal masalah yang tengah kalian hadapi ini,” Dari persetujuan itulah Sunghoon dan Heeseung pergi ke suatu tempat untuk berunding berdua saja, meski hari-hari yang dijalani begitu berat tanpa kamu, tapi Heeseung benar-benar memegang teguh perjanjian itu. Dia mungkin tetap ada disekitar mu, tetapi dalam jarak yang cukup jauh, dimana manik mu tak akan mungkin bisa meniliknya. *** Sedikit kilas balik mengapa ini semua bisa berujung tragis, mulai dari kemunculan ibu mu yang begitu tiba-tiba dan Yeonjun yang sepertinya telah melanggar kesepakatan yang ada. “Ini semua tidak seberapa!, saya akan buat keluarga itu merasakan malu sekali lagi, sampai mereka menyesali segalanya!” kacaman datang akibat dendam. Hidup setelah bebas dari jeruji besi bukan semata-mata kembali pada kebebasan, tetapi juga kembali pada peliknya kehidupan, bagaimana mungkin Yeonjun bisa bertahan dengan keadaan ekonomi yang setiap hari mencekiknya. Dia bisa hidup lebih lapang saat ini karena memanfaatkan kekasihnya yang bodoh untuk menghidupinya, hanya bermodalkan janji manis pernikahan dia bisa bertahan sampai kini bisa menuntut seorang Heeseung dalam perselisihan hukum. Dirasa ini semua tak cukup, Yeonjun memutar otak, dia diam-diam mencari latar belakang kehidupan mu, dari mana kamu berasal, hingga ia mengetahui bahwa kamu masih punya seorang ibu, yaitu Mira. Pertemuan mereka cukup sulit, karena Mira benar-benar telah berubah banyak, dulu mungkin dia menuntut mu terus-terusan dan ingin menjadikan kamu sebagai investasi masa depan. Namun, saat ini dia sungguh tak lagi peduli perihal kamu. “Ya apa paduli ku?, mau anak itu dihamili sekalipun tidak ada lagi urusannya dengan saya,” percaya atau tidak tapi itulah yang Mira ucapkan ketika Yeonjun menceritakan segalanya tentang mu. Awalnya ini diluar prediksi Yeonjun, mengingat mungkin saja rasa keibuan dari seorang janda anak ini masih ada, nyatanya tak lagi tersisa sedikit pun. “Bagaimana dengan penawaran ini?” dari saku celananya, Yeonjun mengeluarkan satu bungkusan plastik berukuran kecil. Benda didalamnya hanya tertutupkan clip, bola mata itu berbinar, antara terkejut atau pula kemenangan. “Dari mana kau mendapatkan itu?” ayat tanya itu sukses membuat sang pria menyunggingkan senyum. “Saya rasa penjelasan itu tidak penting, jika kau menginginkan ini secara cuma-cuma, maka bersikaplah seperti seorang ibu... buatlah kekacauan yang lebih besar,” “Sepakat, asal hasilnya bisa berbuah lebih banyak,” Yeonjun mengangguk, menyerahkan bulir-bulir keristal ilegal berkilap putih itu, pada Mira. Tak akan sulit bagi Yeonjun untuk meraup benda haram itu, karena meski sudah sempat menjadi tawanan, dia tetap punya akses pada obat-obatan terlarang karena korelasinya yang kuat dengan pengedar lainnya. Ya, demi narkotika, Mira menyetujui kesepakatan ini. Selain dari pada kecanduan alkohol, wanita itu juga ternyata selama ini sudah terjerumus dalam liang obat-obatan terlarang. “Saya akan sewa pengacara untuk mu, semua salinan bukti juga akan saya kirimkan. Hanya satu lagi yang sebaiknya kita ketahui lebih dulu,” “Apa itu?” “Kita harus benar-benar bisa memastikan bahwa hubungan mereka, sudah berjalan saat gadis itu masih dibangku SMA,” “Mudah, tidak mungkin orang pacaran tidak simpan kenangan berdua, saya akan cek lewat handphonenya,” dari usulan itu memang benar, itulah yang Yeonjun harapkan, setidaknya dia bisa menjerumuskan Heeseung semakin dalam tanpa sedikit pun mengotori tangannya. *** “Heem...” Kamu bersenandung dalam kesunyian, setelah selesai berbenah, membersihkan diri. Keluar dari bilik kecil itu seraya mengeringkan rambut, namun langkah mu terhenti saat kamu bisa melihat dengan jelas, bahwa kini ditangan Mira sudah ada ponsel mu. “Mama...” Dia bersikap acuh tak acuh, dengan santainya membuka ponsel mu dan mulai mengulik segala isinya tanpa sepengetahuan mu. Wanita itu ingat betul, kata sandi ponsel mu cukup mudah, hanya perlu mengingat tanggal kelahiran mu. “... Mama apaan sih!, balikin HP ku!” kecam mu beranjak mendekat, mencoba merebut benda pipih itu dari sang ibu. Mira buru-buru menepis lengan mu begitu kasar hingga kamu kesulitan meraih ponsel mu dari genggamannya, “diam kamu atau saya banting benda ini!” kamu terdiam ditempat, hanya handphone itu satu-satunya jadi tempat kamu mengadu, tak ada lagi yang bisa bersama mu untuk saat ini. “Engga ma, jangan... aku mohon,” “Diam makanya!, saya cuma mau lihat aja, pelit banget kamu,” Terpaksa dalam diam kamu merelakan apa pun yang ingin Mira lakukan, meski itu semua menyangkut pada privasi mu sendiri. Mata garang yang tidak pernah padam itu menilik detail, mencari celah baik itu foto, video, bahkan sampai pada riwayat chat. Semuanya dia cek satu-satu, tanya untuk mencari bukti lebih dalam bahwa hubungan mu dengan Heeseung sudah lama terjalin. “Ck!... kamu simpan dimana foto-foto kamu sama si bajingan itu?!” Kamu yang tak mengerti makasutnya tak bisa langsung menjawab, “f-foto apa ma?” tanya mu nelangsa. “Ya foto kamu sama bajingan itu pas pacaran, kalian berdua udah lakuin ini dari kamu masih SMA kan?” pertanyaan datang begitu tajam, kamu cukup terguncang tapi tetap harus kuat. “Lah emang gak ada, karena kami baru deket sekarang. Jadi balikin HP ku!” Kamu sudah tak tahan akan cercahan dari ibu mu sendiri, kini mendekat secepat kilat kembali ingin meraih ponsel itu. Merebutnya paksa hingga mendorong Mira menjauh. “Stop ikut campur!, aku gak pernah mempermasalahkan gimana cara mama mendidik ku, tapi ini keterlaluan...” “... terlalu banyak ikut campur.” *** segini dulu ya, maaf badan gua lagi gak enak, panas juga. |